JelaskanApa Yang Dimaksud Dengan Amal Saleh Dan Berbaik Sangka. Perhatikan Data Berikut Merupakan Kerajaan Yang Menjadi Penghubung Antara Jalur Perdagangan. Dua Buah Lampu Pijar Masing Masing Mempunyai Suhu 27 C Dan 127. Perhatikan Gambar Berikut Jika Panjang Dan Luas Juring Adalah. Alat Ukur Waktu Apakah Yang Memiliki Ketelitian Paling
makiiaitu berikan — kpd Irak bila tidak kelu- . berpanisipasi: beiperan seita (dl Temyata makna itu diambil dari ar dr Kuwait;3 tindakan sbg huku suatu kegiatan); ikut serta; seluruh .kamus bahasa-bahasa Barat (ka-man atas suatu pelanggaran terhdp masyarakat harus ~ dl menyuk- Imus bahasa Inggris misalnya) apa yg sudah diietapkan:- ekono
1 Apa yang dimaksud dengan penelitian sejarah ? 2. Sebutkan jenis-jenis penelitian sejarah ? 3. Sebutkan tahapan-tahapan dalam penelitian sejarah ? 4. Jelaskan yang dimaksud dengan historiografi ? 5. Jika dilihat dari teknik pengumpulan data dan fakta maka bentuk penelitian dapat dibedakan menjadi dua,sebutkan ! D . Perkembangan Penulisan
ModulSejarah Indonesia Kelas X KD 3.7 dan 4.7. Kesenian yang telah berkembang sebelumnya tidak musnah, tetapi diperkaya oleh seni Islam (Akulturasi). Pesan-pesan islamisasi juga dilakukan melalui sastra, misalnya kitab primbon pada. 25 0 49.
Teknologikesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) mencakup segala metode dan yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, pelayanan kesehatan sebagai orang yang kemungkinan paling mengetahui apa yang dibutuhkan dan menyatakan masalah dalam
Tujuanhistoriografi adalah untuk menulis kejadian pada masa lampau secara kronologis dan sistematis. Contents hide. 1 Pengertian Historiografi Menurut Para Ahli. 1.1 Louis Gottschalk. 1.2 Prof Dr Ismaun M.Pd. 1.3 Prof Dr Helius Sjamsudin M.A. 1.4 Drs Sugiyanto, M Hum. 1.5 Drs Haryono, M.Pd. 1.6 Prof A Daliman, M.Pd.
A Fenomenologi. Jenis Metode Penelitian Kualitatif yang pertama adalah fenomenologi. Kata fenomenologi Berasal kata dari bahasa Yunani, phainomenon yang berarti penampakan diri dan logos yang berarti akal, studi fenomenologi merupakan penelitian yang mengkhususkan pada fenomena dan realitas yang tampak untuk mengkaji penjelasan di dalamnya.
Keduaaspek historis yakni, kekhalifahan senantiasa dapat berubah, menerinma diskusi karena produk zaman tertentu, dan hal itu bukan hal yang sakral. 2. Islam Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya. 3.
rARz.
Mendengar kata historiografi, sebagian dari kita mungkin akan langsung merujuk pada segala sesuatu yang berbau sejarah. Dan ini tidak bisa dihindari. Pengertian historiografi sendiri adalah kajian mengenai metode sejarawan dalam pengembangan sejarah sebagai disiplin akademis, dan secara luas merupakan setiap karya sejarah mengenai topik tertentu. Historiografi tentang topik khusus melingkupi tentang bagaimana sejarawan mengkaji topik tersebut dengan menggunakan sumber, teknik, dan pendekatan teoretis tertentu. Historiografi berasal dari bahasa Yunani – “Historia”, yang berarti “sejarah” dan “Graphe”, yang berarti “tulisan” atau “naskah”. Menurut Louis Gottschalk, pengertian historiografi tak jauh-jauh dari tulisan mengenai sejarah. Singkatnya, ia menyebut historiografi sebagai bentuk publikasi, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan mengenai peristiwa atau kombinasi peristiwa-peristiwa di masa lampau. Dalam perjalanannya, historiografi dibagi menjadi 3 macam, yakni historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi nasional. Untuk lebih jelasnya mengenai ketiga jenis historiografi, berikut penjelasannya. Historiografi Tradisional Historiografi tradisional merupakan penulisan sejarah yang seringkali dilakukan oleh para sastrawan atau pujangga keraton dan bangsawan kerajaan. Historiografi ini berasal dari masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam. Baca juga Kenalkan, 4 Ilmuwan Wanita Paling Populer Sepanjang Sejarah! Contoh historiografi tradisional adalah prasasti Canggal, Negarakertagama, Sutasoma, Hikayat Raja-raja Pasai, dan Babad Tanah Jawi. Historiografi Kolonial Historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang muncul semasa kolonialisme Belanda di Indonesia, dimulai sejak VOC sampai pemerintahan Hindia Belanda. Tujuan ditulisnya adalah sebagai penguat kedudukan mereka di Indonesia. Contoh historiografi kolonial antara lain Indonesian Trade and Society, tulisan van Leur , Indonesian Sociological Studies, tulisan Schrieke , Indonesian Society, tulisan Wertheim. Historiografi Nasional Sejak merdeka pada tahun 1945; penulisan historiografi menjadi Indonesia-sentris. Artinya, bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia menjadi fokus perhatian. Bangsa Indonesia telah menempuh perjalanan sejarah yang panjang. Contoh historiografi nasional adalah Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, editor Sartono Kartodirdjo; Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I sampai dengan VI, editor Sartono Kartodirdjo; dan Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, karya R. Moh. Ali. Please follow and like us Kelas Pintar adalah salah satu partner Kemendikbud yang menyediakan sistem pendukung edukasi di era digital yang menggunakan teknologi terkini untuk membantu murid dan guru dalam menciptakan praktik belajar mengajar terbaik. Related TopicsHistoriografiIPS SejarahKelas 10Pengertian HistoriografiSejarah
Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 HISTORIOGRAFI Makalah Ilmiah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Sejarah Oleh Denis Guritno Sri Sasongko NPM. 20177379144 Fakultas Pascasarjana Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI 2018 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Historiografi modern yang ditandai dengan usaha penulisan sejarah bangsa Indonesia telah dilakukan pada zaman penjajahan. Dari periode ini, dikenallah karya sejarah Hindia-Belanda Geschiedenis van Nederlands-Indie sejumlah 5 jilid. Jilid pertama tentang prasejarah, jilid dua tentang sejarah Hindu-Jawa, jilid tiga tentang pembentukan VOC, dan jilid empat tentang sejarah Hindia Belanda abad ke-18. Jilid lima buku ini ditulis oleh Stappel dan diterbitkan pada 1943, ketika Belanda diduduki Jerman dan kepulauan Indonesia diduduki Jepang. Oleh karena itu, jilid lima ini tidak beredar di Indonesia. Tentu saja, kecenderungan penulisan buku tersebut didasarkan pada perspektif kolonial Belanda Purwanto dan Asvi sebagaimana dikutip Subekti, 20102. Dari peristiwa tersebut, sejarawan menjadi orang yang berperan penting dalam penulisan peristiwa-peristiwa masa silam melalui berbagai fakta yang ada. Tanpa melihat fakta-fakta sejarah, seorang sejarawan tidak mungkin dapat merekonstruksi sejarah yang telah terjadi. Fakta inilah yang memungkinkan seorang sejarawan mengungkapkan sejarah. Fakta-fakta sejarah tentu saja tidak ada dalam satu kesatuan utuh. Agar menjadi kesatuan utuh, seorang sejarawan harus mengumpulkan fakta-fakta yang ada dan dituangkan dalam bentuk tulisan atau cerita. Susunan inilah yang dikenal 3 dengan historiografi penulisan sejarah. Di dalamnya, seorang sejarawan menulis apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan dan dialami oleh seseorang atau narasumbernya. Makalah ilmiah adalah studi deskriptif dengan topik “Historiografi”. Konteksnya adalah Metode Sejarah. Untuk itu, pendekatan penulis adalah analisis dari sumber-sumber kepustakaan yang relevan dengan topik tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan beberapa masalah berikut 1. Apa yang dimaksud dengan historiografi? 2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi historiografi? 3. Apa saja bentuk pemaparan atau penyajian historiografi? 4. Bagaimana periodisasi historiografi di Indonesia? C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ilmiah ini adalah 1. Untuk mengetahui pengertian historiografi 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi historiografi 3. Untuk mengetahui bentuk pemaparan atau penyajian historiografi 4. Untuk mengetahui periodisasi historiografi di Indonesia 4 BAB II PEMBAHASAN A. Definisi dan Konteks Secara etimologis, historiografi berasal dari dua kata, yaitu historia sejarah, Lat dan graphein menulis, Yun. Dari dua kata tersebut, Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI menyebut definisi historiografi sebagai penulisan sejarah. Secara lebih luas, historiografi dapat diartikan sebagai sejarah penulisan sejarah. Salah satu bentuk historiografi adalah kronik-kronik yang ditulis pada masa kerajaan-kerajaan kuno. Tarunasena, 200925 Historiografi adalah langkah terakhir dalam penelitian sejarah. Secara kronologis dan sistematis, seorang sejarawan harus mampu merangkai fakta, menginterpretasi makna, dan menghasilkan tulisan sebagai sejarah yang dituliskan. Karya historiografi ini adalah gabungan kedua proses, penafsiran Auffassung dan formulasi/presentasi Darstellung Sjamsuddin, 201699. Oleh karena itu, penulisan sejarah dilakukan setelah fakta-fakta sejarah berhasil dihimpun, dikritisi, dan disusun. Definisi tersebut menunjukkan bahwa penulisan sejarah menjadi usaha seorang sejarawan merekonstruksi sumber-sumber primer yang ditemukan. Sumber-sumber tersebut mulanya terpisah dan belum mempunyai makna secara keseluruhan. Maka, pada proses selanjutnya, sumber-sumber tersebut disusun 5 sesuai alur agar menggambarkan proses terjadinya peristiwa sejarah secara holistik. Proses penulisan sejarah tentu saja menjadi tahap paling menentukan dalam penelitian sejarah. Pada tahap ini, rekonstruksi sejarah yang dibangun oleh seorang sejarawan akan dituliskan, dibaca, dan dikritisi oleh pembacanya. Tahap ini akan mendorong penulis untuk mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama adalah penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena pada akahirnya, ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh penelitian atau penemuannya ke dalam suatu penulisan yang utuh Sjamsuddin, 2016 99. Untuk itulah, tahap ini adalah tahap yang paling menentukan bagi seorang sejarawan karena situasi zaman Zeitgeist dan lingkungan kebudayaan akan mempengaruhi cara pandang sejarawan tersebut. Singkatnya, situasi zaman dan kebudayaan diwakili dengan pandangan seorang sejarawan. Dari waktu ke waktu, penulisan sejarah selalu berkembang. Setiap periode sejarah melahirkan penulisan sejarah masing-masing yang berbeda ciri-cirinya. Dalam konteks inilah, historiografi di Indonesia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern. B. Historiografi Interpretasi, Penjelasan, dan Penyajian Penulisan sejarah diwujudkan dalam paparan, penyajian, presentasi atau penampilan eksposisi. Bentuknya dapat berupa deskripsi, narasi, dan analisis. Dua dorongan utama yang menggerakkan seorang sejarawan dalam menulis karya 6 sejarah adalah mencipta ulang re-create dan menafsirkan interpret, serta menjelaskan. Dorongan pertama menuntutnya membuat deskripsi dan narasi, sedangkan dorongan kedua menuntutnya membuat analisis. Pegangan para sejarawan dalam menulis karya sejarah adalah beberapa filsafat sejarah tertentu. Filsafat ini bertujuan untuk memberi arti atau makna kepada seluruh sejarah kegiatan manusia, sebagai petunjuk bagi suatu penafsiran yang valid dari materi sejarah, dan suatu pemahaman mengenai penyebab dan keberartian signifikansi dari peristiwa dan lembaga yang dicatat dalam materi sejarah. Sjamsuddin, 201699 Faktor-faktor tetap yang mendasari sejarah adalah manusia, geografi, kebudayaan, dan supernatural atau metafisik. Keempatnya dianggap sebagai penyebab yang mengkondisikan sejarah manusia. Para sejarawan mengangkat filsafat sejarah dari keempat faktor tersebut, terutama manusia sebagai titik tolaknya. Jika tidak hati-hati, penulisan sejarah yang dihasilkan menjadi filsafat sejarah yang deterministik. Filsafat deterministik menolak semua penyebab yang berdasarkan kebebasan manusia dalam menentukan dan mengambil keputusan. Manusia menjadi robot karena ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya. Bentuk penafsiran deterministik ini tampil dalam determinisme rasial, penafsiran geografis, interpretasi ekonomi, penafsiran teori “orang besar”, penafsiran spiritual atau idealistik, penafsiran ilmu dan teknologi, penafsiran sosiologis, serta penafsiran sintesis. Sjamsuddin, 2016103-104 7 Penulisan sejarah pun tidak luput dari kritikus. Beberapa kesalahan yang disebut Fischer sebagaimana dikutip oleh Sjamsuddin 2016109 adalah kekeliruan anakronisme, kekeliruan presentisme, kekeliruan antikuarian, kekeliruan sejarah terowongan, kekeliruan periodisasi, kekeliruan teleskopik, kekeliruan berkepanjangan, kekeliruan kronik, dan kekeliruan didaktik. Kekeliruan anakronisme adalah kekeliruan yang terjadi ketika sejarawan membuat deskripsi, narasi atau analisis, dan pertimbangan mengenai suatu peristiwa, tidak jarang disebutkan seolah-olah terjadi pada suatu waktu yang lain dari yang sebenarnya. Anakronisme dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Contoh kekeliruan anakronisme adalah kesalahan penempatan tanggal, penempatan objek, peristiwa, atau kata-kata serta istilah-istilah. Dalam periodisasi sejarah di Indonesia, kekeliruan anakronisme didapati sebagai kelemahan historiografi modern. Kekeliruan lain yang dapat terjadi dalam historiografi adalah kekeliruan teleskopik dan kekeliruan berkepanjangan. Kekeliruan pertama adalah kekeliruan yang terjadi karena membuat cerita panjang menjadi singkat. Sejarawan terdorong untuk menciutkan apa yang seharusnya dapat ditulis dengan panjang lebar. Karena ada bagian-bagian yang dihilangkan, hasilnya adalah suatu historiografi yang tidak utuh. Sementara yang kedua adalah, kekeliruan yang terjadi karena membuat cerita yang seharusnya pendek menjadi panjang. Hasilnya berupa tulisan yang berkepanjangan dan bertele-tele. Salah satu kemungkinan penyebabnya karena sumber materi sejarah yang kurang. Sjamsuddin, 2016112 8 Pemamparan atau penyajian sejarah pun berdekatan dengan persoalan objektivitas dan subjektivitas. Objektivitas berarti kebenaran mutlak, sesuai dengan kenyataaan, netral, tidak memihak, dan tidak terikat. Tuntutan seperti ini tentu cukup sulit untuk dipenuhi dalam disiplin ilmu sejarah. Sejarah dipahami oleh para sejarawan sebagai catatan dan ingatan akan masa lalu. Untuk itu, jika tidak ada catatan atau ingatan, tidak ada sejarah. Sebagai catatan atau ingatan, tentu ada orang yang mencatat atau mengingat. Dalam konteks inilah, sejarawan mempunyai pandangan-pandangan, prasangka-prasangka yang dapat ditemukan dalam catatan atau ingatan tersebut. Akibatnya, catatan atau ingatan akan masa lalu tersebut dapat memihak bias, memuat prasangka-prasangka kelompok, memuat teori-teori yang bertentangan tentang penafsiran sejarah, dan memuat konflik-konflik filsafat yang mendasar. Dengan kata lain, pemaparan atau penyajian sejarah tidak akan pernah lepas dari unsur subjektivitas. Untuk itu, dalam metodologi sejarah, penjelasan eksplanasi sejarah menjadi upaya para sejarawan untuk menjelaskan hubungan di antara pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena sejarah yang ada. Karya sejarah yang dihasilkan mencakup hubungan kausalitas sebab-akibat dan bentuk-bentuk penghubung lain koneksi. Keduanya digunakan oleh para sejarawan ketika mensintesiskan fakta-fakta sejarah yang dijumpai. Sjamsuddin, 2016121 Dalam historiografi, pemaparan atau penyajian sejarah dapat dibagi menjadi tiga jenis karya; deskriptif-naratif, analitis-kritis, dan gabungan keduanya. Perwujudan historiografi yang deskriptif-naratif dan analitis-kritis merupakan dua kutub dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing. Pada perkembangan 9 berikutnya, para sejarawan mulai mengembangkan historiografi yang lebih “moderat” untuk tidak terlibat dalam dikotomi tersebut. Para sejarawan mencoba mengambil jalan tengah di antara dua kutub tersebut. Mengutip Burke, Sjamsuddin 2016151-152 menjelaskan ketiganya sebagai berikut 1. Deskriptif-naratif Sejarah yang bersifat naratif dapat disebut sebagai sejarah populer karena menyandarkan diri pada peristiwa-peristiwa atau sejarah lama tradisional. Dalam penulisan sejarah, sejarawan berperan sebagai narator. Kelemahan jenis karya deskriptif-naratif ini ada pada penulisan peristiwa-peristiwa sejarah yang hanya di bagian permukaan saja. 2. Sejarah analitis-kritis Penyajian sejarah yang bersifat analitis-kritis dianggap sebagai sejarah akademik. Orientasi penyajian sejarah ini adalah permasalahan dan struktur sehingga disebut sejarah struktural. Para sejarawan tidak lagi mengambil peran sebagai narrator, melainkan sebagai analis yang membedah karya sejarah dari sudut pandang akademis, dipilah-pilah, dan disusun secara runtut. Dengan demikian, penulisan sejarah analitis-kritis lagi tidak bersifat naratif, tetapi lebih bersifat akademis. Penyajian jenis ini terdapat dalam karya-karya ilmiah, jurnal, tesis, atau desertasi. Oleh karena itu, sejarah struktural yang analitis tampil sebagai karya sejarah yang terlalu kaku statis dan tidak historis unhistorical. 10 3. Gabungan deskriptif-naratif dan analitis-kritis Penyajian sejarah terbaru tampil dalam gabungan karya deskriptif-naratif dan analitis-kritis. Ada beberapa model yang ditunjukkan oleh Peter Burke dari contoh-contoh yang dilakukan oleh para novelis atau pembuat film dapat dicontoh oleh para sejarawan. a. Teknik penulisan novel yang bercerita dari berbagai sudut pandang. Teknik ini disebut heteroglossia. Cara ini memungkinkan beragamnya pendapat dan tidak mustahil bertentangan satu sama lain. b. Narasi sejarah menggunakan plot dasar sastra, antara lain komedi, tragedi, satir, dan roman. c. Banyaknya narasi menggambarkan rangkaian peristiwa dan maksud-maksud yang disadari oleh para pelaku sejarah, sekaligus melukiskan struktur-struktur, seperti pranata sosial, lingkungan, budaya, lembaga sosial, dan cara berpikir zamannya. d. Cara menulis sejarah dengan model mikronaratif. Cara bercerita ini dapat ditemui dalam konteks atau setting rakyat setempat. e. Cara menulis sejarah dilakukan secara mundur. Cara bercerita ini dimulai dari masa sekarang, kemudian bergerak mundur ke masa yang lebih tua. Semua wujud penampilan, penyampaian, pemamparannya, dan bentuk penyajian di atas, yaitu deskriptif-naratif, analitis-kritis, atau gabungan keduanya, bermuara pada sintesis yang dikenal dengan historiografi. 11 C. Historiografi di Indonesia 1. Historiografi Tradisional Tradisi sejarah masyarakat Indonesia berkembang pada masa aksara, yaitu masa ketika masyarakat Indonesia sudah mengenal tulisan. Pada masa ini, tradisi direkam melalui tulisan yang disebut naskah. Naskah inilah yang menjadi sarana untuk mewariskan kisah-kisah masa lalu kepada generasi berikutnya. Di Indonesia, naskah-naskah tersebar di berbagai daerah. Pada umumnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah asal naskah tersebut; Sunda, Jawa, Bugis, Melayu, Aceh, dan Minang. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki kesadaran sejarah yang sangat tinggi. Dalam periodisasi sejarah di Indonesia, historiografi tradisional dimulai pada masa Hindu Buddha. Sebutan tradisional tersebut berdasar pada tahun ketika naskah itu ditulis, tempat penulisan naskah, dan bentuk cerita yang dikisahkan dalam naskah. Pada masa ini, dikenal beberapa jenis historiografi tradisional, antara lain prasasti, babad, dan hikayat. Tiga jenis historiografi ini tampil sebagai ekspresi budaya dan bentuk keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosialnya. Bahasa, adat istiadat, dan khasanah nilai-nilai budaya adalah beberapa faktor yang sangat mempengaruhi penulisan naskah-naskah, tulisan-tulisan, dan manuskrip-manuskrip. Tarunasena, 200959 Karena dipengaruhi sistem kepercayaan masyarakatnya, historiografi tradisional sarat dengan unsur-unsur mistis masyarakat setempat. Unsur-unsur ini tampil dalam figur tokoh-tokoh cerita tertentu. Kisah-kisah tersebut bersumber pada kepercayaan akan kekuatan yang menjadi pangkal seluruh semesta. 12 Fakta-fakta sejarah belum diberi tempat dalam historiografi tradisional. Salah satu fungsi menempatkan unsur mistis dalam historiografi tradisional adalah untuk memberi bentuk legitimasi dan kesan mistis dalam narasi tokoh historis. Hal ini dapat ditemui dalam kisah silsilah raja-raja. Selain memberi kesan mistis, dengan menempatkan raja sebagai keturunan dari dewa tertentu, penulisan tokoh tersebut hendak menegaskan bentuk legitimasi kekuasaan yang diterimanya dari para dewa. Tarunasena, 200960 Berdasarkan ciri-cirinya, historiografi tradisional di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu historiografi masa Hindu-Buddha dan historiografi masa Islam. Keduanya dijelaskan sebagai berikut a. Historiografi Masa Hindu-Buddha Pada masa ini, historiografi tradisional berkembang bersamaan dengan tradisi tulisan. Di berbagai tempat di Indonesia, periode masa ini dibuktikan dengan penemuan prasasti-prasasti yang ditulis menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Prasasti inilah yang merekam kejadian penting, menegaskan legitimasi kerajaan, dan menunjukkan kuatnya pengaruh budaya India. Secara umum, historiografi tradisional pada masa Hindu-Buddha dapat ditemukan dalam karya-karya terjemahan naskah-naskah dari India. Karya-karya yang dihasilkan bersifat religiomagis. Artinya, karya-karya tersebut memuat kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan di atas manusia dan adanya kekuatan gaib yang menguasai alam sekitar. 13 Isi karya historiografi tradisional pun bersifat istanasentris. Hal ini tampil dalam gambaran bahwa istana adalah tempat yang sakral dan memiliki pengaruh. Hal ini dapat ditemui dalam kisah-kisah yang berkembang di berbagai daerah. Di Jawa Barat misalnya, silsilah para Bupati selalu dihubungkan dengan tokoh mitos, yaitu Prabu Siliwangi. Silsilah tersebut dibuat dengan tujuan agar dapat memberikan dasar legitimasi bagi raja atau penguasa bahwa dia adalah keturunan tokoh yang sakral atau berpengaruh. Tarunasena, 200963 Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa ekspresi budaya dan religiositas masih berada pada taraf yang sangat sederhana. Karya-karya sejarah yang dihasilkan berusaha menjelaskan dan memperkokoh nilai-nilai, tatanan, dan norma-norma sosial budaya yang dihidupi sehari-hari. Untuk itu, unsur kekuasaan adikodrati yang ditemui di sekitarnya tidak dapat dilepaskan dari naskah-naskah yang dihasilkan. Hal ini pun dapat ditemui dalam karya-karya pujangga keraton yang hidup di lingkungan istana. Tulisan-tulisan yang dihasilkan berhubungan erat dengan konsep bahwa raja adalah titisan dewa yang harus ditempatkan lebih tinggi daripada masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, keberadaan prasasti, babad, kronik menunjukkan legitimasi raja, menandakan peristiwa penting, dan memuji kebesaran raja. Namun, masih dapat ditemukan bahwa kisah-kisah tersebut masih berdekatan dengan unsur mitos dan cerita takhayul. Karya-karya historiografi tradisional tidak hanya berisi tentang kisah sejarah. Beberapa karya historiografi tradisional tersebut sangat kaya dengan ajaran agama, hukum, adat-istiadat, filsafat politik, sastra, dan doa. Namun, sesuai 14 konteks diskursus ini, karya historiografi tradisional adalah naskah yang berisi cerita sejarah. Ciri-ciri karya historiografi tradisional ini masih dipengaruhi nilai mistis dan tidak mengikuti kaidah logis serta akademis. Contoh-contoh karya historiografi tradisional pada masa ini adalah Pararaton, Negarakertagama, Mahabarata, dan Ramayana. Rahata. dkk, 2016107 b. Historiografi Masa Islam Historiografi pada masa ini berkembang seiring berkembangnya pengaruh kebudayaan Arab di Indonesia. Perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia mendorong karya historiografi tradisional ditulis dengan ciri-ciri yang berbeda dari historiografi pada masa Hindu-Buddha. Meski masih mengandung unsur mitos, karya historiografi masa Islam sudah menonjolkan kisah seseorang yang mendapat wahyu sebagai legitimasi keterpilihannya sebagai raja. Pada masa ini, sudah dikenal unsur kronologi pada kisah-kisah asal-usul raja atau latar belakang berdirinya sebuah kerajaan. Untuk itu, karya-karya historiografi pada masa ini sangat berdekatan dengan proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Pulau Jawa. Dengan demikian, karya-karya tersebut sarat dengan kisah yang menuturkan lingkungan etnis tertentu etnosentris. Rahata. dkk, 2016108 Perkembangan historiografi tradisional pada masa ini pun masih bersifat istanasentris. Namun, legitimasi kekuasaan raja diganti dengan konsep kalifatullah, yaitu raja sebagai wakil Tuhan di dunia. Hal ini menunjukkan adanya pengamalan ajaran agama yang dilakukan oleh para pemimpin pada masa Islam. 15 Kisah-kisah tersebut pun masih memuat unsur-unsur mitos dan legenda yang digunakan secara simbolis untuk memberi legitimasi kepada raja dan keturunannya yang berkuasa. Contoh karya historiografi tradisional pada masa ini adalah Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Aceh, Babad Tanah Jawi, Babad Demak, dan Babad Giyanti. Historiografi tradisional menampilkan budaya masyarakat setempat. Dari karya ini, dikenallah silsilah yang ditulis runtut dan kronologis. Untuk itu, tekanan ditempatkan pada struktur, bukan proses. Dalam konteks inilah, dapat dipahami pentingnya legitimasi raja dan peristiwa yang dianggap penting pada periode kekuasaan raja tertentu. Historiografi tradisional pun masih sangat subjektif. Setiap karya yang dihasilkan menonjolkan sifat istanasentris, kehidupan raja dan bangsawan. Dengan demikian, karya historiografi tradisional sangat terbatas, terutama karena tidak memberi tempat pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada umumnya. Historiografi tradisional ini pun tidak melandasi penulisannya dengan metodologi penulisan yang jelas. Unsur mitos dan realitas bercampur aduk dalam penulisan karya historiografi tradisional. Dengan kata lain, jika harus ditelusuri kembali, sumber-sumber data penulisannya mustahil untuk dibuktikan. Rahata. dkk, 2016109-111 2. Historiografi Kolonial Historiografi kolonial adalah penulisan sejarah yang dilakukan oleh seorang sejarawan yang tinggal di daerah koloni atau jajahan. Kepentingan penulisan 16 sejarah yang dilakukan tentu saja tidak terlepas dari kepentingan penguasa kolonial yang berusaha untuk melegitimasi kekuasaannya di daerah koloni. Dalam konteks Indonesia, historiografi kolonial berarti tulisan sejarah karya sejarawan yang dilakukan pada masa pemerintahan kolonial. Karakteristik historiografi kolonial sarat dengan penulisan yang subjektif. Di Indonesia, fokus kajian sejarawan lebih banyak mencatat aktivitas para pegawai Belanda dan kegiatan gubernur jenderal. Dengan demikian, sumber-sumber lokal seperti babad, hikayat, kronik, atau tradisi lisan seringkali diabaikan. Penulisan historiografi kolonial pun sering bersifat diskriminatif. Demi mendapat keuntungan psikologis, ekonomis, dan politis, penulisan historiografi tidak sesuai dengan fakta-fakta historis. Bahkan, sejarawan pun menggunakan unsur mitos dalam tulisannya untuk menegaskan bahwa wilayah Indonesia adalah daerah kekuasaan Belanda. Sejarawan kolonial menciptakan mitos bahwa bangsa Belanda adalah tuan atas wilayah Indonesia. Sudut pandang yang tidak berimbang inilah yang membuat historiografi kolonial ditulis berdasarkan unsur kepentingan. Kehidupan bangsa Indonesia adalah fokus sekunder yang tidak perlu diberi tempat penting. Untuk itu, historiografi kolonial bersifat eropasentrisme dan neerlandosentrisme. Artinya, sejarah Indonesia ditulis berdasarkan sudut pandang dan kepentingan orang-orang Belanda Eropa yang saat itu sedang berkuasa menjajah di Indonesia. Dalam historiografi kolonial, aktivitas orang Belanda, pemerintahan kolonial, dan kegiatan para pegawai kolonial yang menjalankan tugasnya di Indonesia menjadi fokus utama kajian sejarah. Dengan kata lain, historiografi kolonial menganggap 17 keberadaan orang-orang Indonesia tidak terlalu penting dan tidak memiliki pengaruh. Rahata. dkk, 2016113 Perkembangan historiografi kolonial di Indonesia berkembang dengan pesat. Setelah perkembangan VOC pada pemerintahan Hindia Belanda, penulisan historiografi kolonial dilanjutkan oleh pemerintah Inggris pada 1811. Historiografi kolonial yang dikenal pada masa ini adalah History of Java karya Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Tokoh yang mempengaruhi perkembangan historiografi kolonial adalah Leopold von Ranke. Ranke berpendapat bahwa sejarah dunia adalah sejarah dari Barat. Sejarah bangsa lain akan dibahas jika memiliki keterkaitan dengan bangsa Eropa. Dalam Geschiedenis van Nederlandsche-Indie Sejarah Hindia Belanda karya Stapel, seorang penulis Belanda bernama van Leur mengkritik penulisan historiografi kolonial dengan menegaskan “Jangan melihat kehidupan masyarakat dari atas geladak kapal saja”. Kritik ini mengingatkan para penulis atau sejarawan kolonial agar dalam menulis sejarah tidak hanya dari sudut penguasa. Rahata. dkk, 2016114 Beberapa contoh historiografi kolonial dari masa VOC sampai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia adalah Beknopt Leerboek der Geschiedenis van Nederlandsch Oost-Indie karya Eijkman dan Stapel, Oud en Niew Oost-Indie karya Francois Valentijn, Indische Geschiedenis karya J. Haan dan H. Uljee, Nederland in de Oost karya Treb, Geschiedenis van Indonesie karya de Graaf, Geschiedenis van Java karya W. Fruin Mees dan Rijklofs van Goens, 18 History of Java karya Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, dan Max Havelaar karya Douwes Dekker. Rahata. dkk, 2016116-117 Meskipun tidak berimbang, historiografi kolonial tetap memuat fakta-fakta sejarah yang dapat digunakan sebagai sumber primer. Namun, karena subjektivitas penulisan yang cukup tinggi, sejarawan kolonial mengesampingkan sumber-sumber lokal seperti syair-syair, hikayat, babad, dan kronik yang telah ada di lingkungan masyarakat. Alhasil, karya historiografi kolonial memiliki kekurangan data kualitatif dari sumber lokal. Kekurangan tersebut dapat dibaca pada buku tentang sejarah kolonial yang menuliskan hal-hal yang kaku dan dibuat-buat. Hanya sedikit karya historiografi yang membahas tentang aktivitas rakyat pribumi. Sebaliknya, karya historiografi kolonial banyak memberi tempat pada aktivitas para pejabat dan pegawai pemerintahan Belanda di Indonesia. Dengan demikian, kurangnya data kualitatif dari sumber lokal bersumber pada pola pikir sejarawan kolonial yang menganggap tulisan pribumi terlalu rendah sehingga ia tidak berusaha meneliti sumber tersebut dengan jeli. Rahata. dkk, 2016116 Seiring perkembangan teknologi mesin cetak, penulisan karya historiografi kolonial dipermudah dengan biaya yang lebih murah. Penyebaran karya historiografi kolonial yang dihasilkan pun dapat lebih meluas. Hingga saat ini, sumber-sumber kolonial inilah yang disimpan dengan rapi di Belanda dalam jumlah yang cukup banyak. Namun, harus diakui bahwa akses atas sumber-sumber kolonial tersebut masih terbatas. 19 3. Historiografi Modern Historiografi modern lahir sebagai tanggapan atas historiografi kolonial. Karya-karya yang dihasilkan menjadi upaya melepaskan diri dari kolonialisme dalam penulisan sejarah. Sebagai babak baru dalam perkembangan historiografi, nasionalisme diberi tempat tersendiri. Hal ini menjadi bentuk perlawanan terhadap penjajahan. Berbeda dengan historiografi tradisional, historiografi modern bersifat indonesiasentris. Sudut pandang dan kepentingan bangsa dipakai sebagai tolok ukur dalam penulisan sejarah di Indonesia. Dengan demikian, karya historiografi yang tidak menempatkan kehidupan orang-orang Indonesia sebagai subjek utama, dikesampingkan. Alasannya, karya-karya tersebut berpotensi merugikan proses pembangunan, terutama dalam mengembangkan sikap nasionalisme. Untuk itulah, historiografi modern tidak terbatas pada penulisan sejarah orang-orang besar, tetapi sudah memberi tempat pada peran para petani dan kondisi sosial ekonomi rakyat kecil. Tarunasena, 200967 Historiografi ini pun bersifat metodologis. Kaidah-kaidah penulisan ilmiah dalam ilmu sejarah digunakan secara ketat. Jika historiografi tradisional tidak terlalu mementingkan fakta, historiografi modern sangat mementingkan fakta dengan pendekatan multidimensional. Dengan pendekatan ini, sumber kolonial dan lokal digunakan oleh sejarawan. Perbandingan keduanya dipakai oleh sejarawan agar validitas dan kredibilitas fakta yang ditemukan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, substansi dan isi karya historiografi modern dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 20 Historiografi modern pun berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual nasional yang berusaha memikirkan nasib bangsanya dengan menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Pasca kemerdekaan Indonesia, penulisan historiografi modern bermanfaat untuk menunjukkan legitimasi pemerintahan Indonesia yang berdaulat. Para sejarawan menuliskan peristiwa besar yang bersifat nasionalis dan mengobarkan semangat kebangsaan untuk menunjukkan eksistensi bangsa. Beberapa contoh historiografi modern adalah Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Autobiografi Soekarno karya Cindy Adams, Revolusi Pemuda karya Benedict Anderson, Islam dan Masyarakat karya Taufik Abdullah, dan Sukarno, Tentara, PKI karya Rosihan Anwar. Rahata. dkk, 2016122-123 Historiografi modern tidak lagi memberi tempat pada religiomagis dan etnosentris berpusat pada etnis/daerah tertentu. Pendekatan ilmiah dan kebangsaan diberi tempat penting sehingga sudut pandang historiografi modern menjadi indonesiasentris. Dengan demikian, penulis tidak lagi terjebak dalam subjektivitas karena telah menggunakan metode penulisan yang kritis, struktural, analitis, sekaligus menggunakan pendekatan multidimensional. Prinsip indonesiasentris dalam historiografi modern tentu saja berdampak pada pemahaman sejarah yang cenderung tidak cocok dengan zaman tertentu. Banyak fakta sejarah, sosial, budaya pada masa kolonial tidak ditulis karena dianggap bukan bagian dari sejarah Indonesia. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada awal perkembangannya, historiografi modern cenderung menjauh 21 dari sejarah objektif. Kecenderungan ini muncul karena nasionalisme yang ditonjolkan dalam historiografi terlalu berlebihan tanpa mengutamakan penelitian yang detail dan akurat. Ketidakobjektifan historiografi indonesiasentris ini tercermin dalam karya generasi awal sejarawan Indonesia pascakemerdekaan. Dalam karyanya Enam Ribu Tahun Sang Merah Putih, Yamin mencoba meyakinkan bangsa Indonesia bahwa sejarah bendera nasional Indonesia, Merah Putih, telah digunakan sejak enam ribu tahun yang lalu. Dasar penafsiran ini adalah penemuan warna pada masyarakat Indonesia masa praaksara. Selain itu, kebiasaan tradisional bubur merah dan putih menjadi dasar untuk menjelaskan kesakralan arti simbol warna merah putih. Rahata. dkk, 2016122 22 BAB III PENUTUP A. Simpulan Perbedaan penelitian sejarah dengan ilmu-ilmu lain adalah masalah sumber penelitian. Ilmu sejarah adalah ilmu empiris. Artinya, sejarah sangat tergantung pada pengalaman manusia. Pengalaman ini terekam pada dokumen atau sumber sejarah. Peristiwa sejarah hanya terjadi sekali dan tidak terulang. Untuk itu, historiografi memerlukan teknik tersendiri dalam penelitian agar dapat menghasilkan karya yang baik. Sumber utama penelitian sejarah adalah dokumen sejarah. Dokumen-dokumen inilah yang menjadi obyek utama para peneliti dalam merekonstruksi fakta-fakta sejarah. Setelah fakta-fakta sejarah dipahami secara menyeluruh, para peneliti sejarah harus melakukan interpretasi untuk menentukan makna dan arti yang saling berhungan dari fakta-fakta yang diperoleh. Hasilnya adalah sintesis yang harmonis dan logis. Akhirnya, para peneliti sejarah menyajikan hasil penelitian dalam bentuk historiografi atau penulisan sejarah yang runtut, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. B. Saran Dalam dua dasawarsa terakhir, perkembangan ilmu sosial di Indonesia sangat pesat, termasuk di dalamnya ilmu sejarah. Dari sudut pandang kesenjangan 23 antargenerasi, generasi sekarang sangat memahami Zeitgeist jiwa zaman seluruh gejolak dan keresahan yang terjadi saat ini. Untuk itu, keunggulan para sejarawan generasi ini adalah sejarawan sekaligus generasi milenial. Masa depan historiografi Indonesia berada di tangan para sejarawan milenial. Banyak di antara para sejarawan muda tersebut dididik dalam tradisi akademik Eropa dan Amerika. Hal ini memungkinkan pendekatan, metodologi dan tema yang sangat beragam. Situasi inilah yang diharapkan mendorong historiografi Indonesia semakin mandiri dan tidak bergantung kepada “mazhab-mazhab” tertentu dalam ilmu sejarah. Tentu saja, sikap kritis tetap harus diberi tempat dalam perkembangan disiplin ilmu sejarah. 24 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. 2006. Historiografi dalam Denyut Sejarah Bangsa’ disampaikan dalam Ceramah Ilmiah Historiografi Indonesia dalam Perspektif Sejarah di Teater Salihara, Selasa, 26 Januari 2016, diakses dari pada Senin, 22 Oktober 2018 Ahsan, Ivan Aulia. 2017. Historiografi Indonesia di Tangah Sejarawan Milenial. Diakses dari pada Senin, 22 Oktober 2018 Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta Penerbit Bentang Budaya Rahata, Ringo, dkk. 2016. Sejarah Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Klaten Intan Pariwara Subekti, Slamet. 2010. Tinjauan Kritis terhadap Kecenderungan Historiografi Indonesia Masa Kini. Diakses dari publications/5045-ID-tinjauan-kritis-terhadap-kecenderungan-h pada Senin, 22 Oktober 2018 Sjamsuddin, Helius. 2016. Metodologi Sejarah. Yogyakarta Penerbit Ombak Tarunasena, M. 2009. Sejarah SMA/MA untuk Kelas X. Jakarta Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional ResearchGate has not been able to resolve any citations for this dalam Denyut Sejarah Bangsa' disampaikan dalam Ceramah Ilmiah Historiografi Indonesia dalam Perspektif Sejarah di Teater Salihara, Selasa, 26 JanuariTaufik AbdullahAbdullah, Taufik. 2006. 'Historiografi dalam Denyut Sejarah Bangsa' disampaikan dalam Ceramah Ilmiah Historiografi Indonesia dalam Perspektif Sejarah di Teater Salihara, Selasa, 26 Januari 2016, diakses dari pada Senin, 22 Oktober 2018Historiografi Indonesia di Tangah Sejarawan MilenialIvan AhsanAuliaAhsan, Ivan Aulia. 2017. Historiografi Indonesia di Tangah Sejarawan Milenial. Diakses dari pada Senin, 22 Oktober 2018